Jul 17, 2018

Legenda : Negeri 9 Koto


Hikayat Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi

Dahulu kala ada seorang yang diberi gelar dengan ninik putih darah tunjuk yang berasal dari
sumatera barat, ia melakukan perjalanan dan sehingga pada suatu saat sampailah ia pada
suatu tempat yang datar dan dialiri sungai dan ia mendapatkan ide untuk membangun suatu daerah
tempat tinggal dan ia mengajak orang dari daerahnya untuk tinggal ditempat tersebut. 
 
Lalu karena semakin banyak orang diberilah nama "Teratak" dan semakin banyak penduduknya
kemudian diberi nama "Dusun"lalu menjadi "Koto" lalu datanglah seorang raja yang bernama dipertuan gadis ia melakukan perjalanan dari Negeri Pagaruyung dan singgah di "Koto" tersebut dan
berkeliling dan ia bertapa didekat sebuah lubuk dengan posisi kaki bersilah yang dalam bahasa daerah ini disebut dengan "baselo" sehingga lubuk tersebut diberi nama "lubuk baselo" dan karena tempo berbicara orang desa cukup cepat sehingga disebut "lubuk lelo". Kemudian raja dipertuan gadis duduk dibawah sebuah pohon yang besar dan rimbun kemudian dia mendengar ngiang sungai dan akhirnya sungai tersebut diberi nama sungai singingi yang berasal dari kata "singiang-ngiang"
yang merupakan bahasa kampung pangkalan indarung yang berarti suara desahan air sungai yang deras.

Kemudian karena pohon besar ini mempunyai dahan yang rimbun yang dalam bahasa kampungnya adalah "naung" sehingga koto tadi yang merupakan pangkalan, kemudian disebut dengan "Negeri Pangkalan Indaung" kemudian raja membentuk penghulu adat dan niniak mamak. Setelah itu Raja ini
melanjutkan perjalanan hingga sepanjang sungai singingi yang sekarang merupakan terdiri dari 9 koto / negeri diantaranya yaitu :

1. Pangkalan Indarung
2. Pulau Padang
3. Muaralembu
4. Logas
5. Kebunlado
6. Petai
7. Kotobaru
8. Sungai Paku
9.Tanjung Pauh

Kesembilan negeri ini diberi nama "Antau Singingi" dan semboyan yang selalu dijaga yaitu :
"Ba Bapak ka Pangkalan Indarung Ba Ibu ka Tanjung Pauh Ba Mamak ka Muaralembu di tanah Kojan".
Pepatah ini mempunyai arti bahwa apabila permasalahan yang ada di 9 koto tadi tidak dapat diselesaikan didaerahnya masing-masing maka permasalahan tersebut diselesaikan di Muaralembu oleh mamak-mamak dari masing-masing yang bermasalah.
Lalu Raja Dipertuan Gadis ini melanjutkan perjalanan hingga kekerajaan gunung sahilan, dan kerajaan siak.
 
Kemudian Raja kembali kekerajaannya di Pagaruyung dan setiap 2 1/2 tahun hingga 3 tahun ia menugaskan bawahannya untuk mengambil pajak kesetiap daerah yang telah dilaluinya pajak ini berupaemas karena di daerah Antau Singingi pada saat itu kaya akan Emas, hingga sekarang emas pun semakin berkurang dan warga biasanya mendapatkan emas dengan caramendulang. Selain semboyan 9 koto tersebut adalagi sebuah sumpahdari hewan di 3 negeri yaitu :
"harimau di padang loweh, tupai di manganti dan buayo disingingi"
Maksud dari sumpah ini adalah sebelum harimau dipadang loweh makan manusia maka tupai di manganti tidak akan memakan kelapa yang ditanam penduduk serta buaya disingingi tak akan mengganggu dan memakan orang di singingi.
Orang yang dimaksudkan disini yaitu putra asli daerah tersebut bukan orang pendatang dari daerah lain. Sebelum adanya ninik mamak yang memangku adat, yang menjadi tokoh masyarakat yaitu dikenal dengan datuk banjar. Dalam pembentukan nama-nama tersebut dikenal ada sebuah pantun yang berbunyi :
Teratak,dusun, Koto, nagori Adat jo sarak tasusun Bumi sonang padi manjadi Maksud pantun ini yaitu apabila adat dan agama telah menjadi sumber hukum yang mengatur maka kehidupan akan senang dan tentram serta akan berjalan dengan baik.

Pada waktu itu kedudukan kepala desa dikenal dengan nama datuk Pucuk dan yang dalam istilah sekarang camat dikenal dengan nama Datuk Khalifa. Kemudian perkembangan permukiman penduduk yaitu dahulunya berada diseberang sungai singingi namun karena sering terjadi banjir sehingga masyarakatnya pindah keseberang yang tempat tinggal warga sekarang sekitar tahun 1979 hingga 1980 dan yang menjabat menjadi datuk pucuk waktu itu bernama Pak Bangsawan. Pada tahun 1982 Kepala Desa beserta masyarakat sepakat bahwa tidak dibolehkan menangkap ikan disungai singingi tersebut yang diberi nama dengan lubuk larangan yang berarti bahwa bagi siapa yang menangkap ikan dilubuk larangan tersebut baik ikan yang hidup maupun ikan yang telah mati akibat racun akan dikenakan denda yang sekarang denda untuk 1 ekor ikan yaitu Rp. 500.000 Sebab dilakukannnya Pelarangan penangkapan ini yaitu karena dahulu penduduk belum memiliki sumur sehingga semua kebutuhan yang berhubungan dengan air seperti mandi, nyuci dan minum semua hal tersebut langsung diambil dari sungai. Jadi untuk menjaga kebersihan sungai maka dilakukanlah Pelarangan ini. Namun selain itu ikan ini pada akhirnya juga ditangkap atau dipanen tapi hanya sekali setahun dan itupun untuk acara-acara besar seperti khatam Alqur’an dan saat Hari Raya Idul Adha, Alat yang digunakan yaitu seperti jala dan jaring agar kualitas air tetap terjaga. Setelah ditangkap kemudian dibagikan kesetiap Kepala Keluarga yang ada ataupun dimasak dan Makan Bersama diMasjid.

Sumber : https://www.facebook.com/167321376970506/posts/hikayat-desa-pangkalan-indarung-kecamatan/186913281677982/

0 comments:

Post a Comment