BERBAGAI penelitian arkeologi, etnolinguistik, hingga kebudayaan di seluruh dunia mengatakan bahwa orang Kuantan adalah Melayu. Ketika gelombang arus migrasi pertama sekitar 1000 tahun SM orang Melayu masuk ke nusantara mereka mendiami pesisir Pulau Sumatra, kemudian mereka mulai masuk secara evolusi ke pedalaman, singgah di berbagai pinggiran sungai di sepanjang 4 sungai di Riau, yaitu Sungai Indragiri/Kuantan, Siak, Kampar, dan Rokan. Orang ini saat ini disebut dengan proto Melayu (Melayu Tua), dan sekarang disebut pula dengan masyarakat suku Asli, seperti Talang Mamak, Sakai, Bonai, Akit, Duanu, dll. Setelah bermastutin di tepi-tepi sungai mereka terus merasuk masuk ke hulu. Khusus di Indragiri mereka singgah dan bermastautin di Kuantan, dan seterusnya sampai pula di Minangkabau.
Setelah itu terjadi lagi gelombang kedua arus masuk ke Nusantara dan melakukan perjalanan dengan proses evolusi memudiki sungai. Sebagian singgah di rantau-rantau sungai di Riau dan sebagian lagi bermukim hingga di Pagaruyung. Orang-orang ini kemudian dikenal dalam ilmu kebudayaan sebagai deutro Melayu (Melayu Muda). Bukti sejarah dalam peristiwa ini begitu banyak, mulai situs-situs candi hindu hingga budha. Di sepanjang sungaiIndragiri/batang Kuantan terdapat tidak kurang dari 3 situs candi yang diperkirakan umurnya lebih dari 2000 tahun yang lalu. Di sungai Rokan menurut penelusuran Tim Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai (Tahap I Sungai Rokan) ada lebih dari 10 situs mahligai yang ditemukan dan diperkirakan umurnya lebih tua dari candi Muara Takus. Yang paling menonjol memang Candi Muara Takus yang berdiri sebelum kerajaan Sriwijaya lahir. Tim ekspedisi itu mencatat seni ukir yang terdapat di sepanjang sungai Rokan juga menunjukkan lebih tua dibandingkan dengan seni ukir di Minangkabau.
Menurut Tambo kenegerian Cerenti, salah satu puak yang mendiami Rantau Kuantan, suku-suku yang mendiami kenegerian Cerenti itu, adalah keturunan dari nenek moyang mereka yang mendiami Semenanjung Melaka. Kemudian pindah ke Deli, tetapi karena adanya terjadi suatu peperangan Raja Deli dengan Raja Bugis, mereka migrasi pula ke Sumatera bagian tengah, sebagian ke Minangkabau sebagian ke Siak Sri Indrapura. Suku yang pindah ke Minangkabau dipimpin oleh Raja Mahkota. Raja Mahkota ini tidak berfungsi sebagai raja sebab ia dalam perantauan. Sedangkan yang pindah ke Siak Sri Indrapura disambut dengan baik oleh rajanya, bahkan ada di antara mereka diangkat menjadi panglima raja Siak Sri Indrapura. Ihwal Raja Mahkota beristrikan Putri Kembang melahirkan dua orang anak dan yang tua adalah perempuan bernama Putri Hijau dan yang kedua laki-laki bernama Putra Hutan.
Beberapa lama mereka mendiami Minangkabau. Raja Mahkota pun mulai berkuasa di daerah kecil yang ia diami, hingga Raja Mahkota meninggal dunia. Istri, anak dan orang-orang sesukunya meninggalkan daerah itu, kemudian hijrah ke Siak Sri Indrapura.
Di Siak, Putri Kembang dan rombongan berkumpul kembali dengan kelompok yang menuju Siak setelah bertahun-tahun mereka berpisah. Putri Kembang dilamar Raja Siak Sri Indrapura, tetapi lamaran Raja Siak itu ditolaknya, sebab beliau tidak sudi menjadi istri dari Raja Siak. Penolakan itu mengakibatkan Raja Siak marah, dan menyeret Putri Kembang ke penjara seumur hidup. Tindakan Raja Siak tidak disenangi Panglima yang sudah diangkatnya, sehingga terjadilah peperangan antara Panglima Raja Siak dengan Raja Siak. Akhirnya, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar rombongan Panglima menghindar menuju Kerajaan Indragiri hingga sampailah ke suatu tempat yang kelak bernama Cerenti.
Hal ini didukung oleh banyaknya pendapat budayawan yang mengatakan bahwa raja-raja Pagaruyung berasal dari Rantau Kuantan yang terjadi lebih dari 1500 tahun yang lalu.
Baik Melayu Tua maupun Melayu Muda memakai sistem keturunan matrilineal (garis keturunan ibu). Setelah Islam masuk diperkirakan abad ke-13 Melayu di Riau terutama yang mendiami pesisir Sumatra menerima peradaban Islam yang memakai sistem patrilineal. Karena memang kebudayaan Melayu itu sangat terbuka dan menerima Islam sepenuhnya. Namun, di banyak rantau di hulu sungai di Riau hingga Sumatra Barat pengaruh sistem yang islami ini diterima dengan berbagai rumusan baru, seperti tali berpilin tiga atau tiga tunggu sejerangan, dst.
Pada abad ke-13 itu pula, ketika Islam masuk ke Sumatra tidak hanya agamanya di terima dengan sepenuh hati tetapi juga peradaban Islam dihayati dengan baik. Gelombang pertama literacy Jawi (Arab Melayu) pun masuk dan dipakai dengan amat mesra. Tradisi keberaksaraan ini sangat merasuk kepada para ahli di Minangkabau waktu itu. Mereka pun mulai terpengaruh membuat sejarah dan syiarah, Mereka menyusun tambo-tambo di rantau Minangkabau. Perantau-perantau Minangkabau yang suka merantau menjalarkan keterampilan mereka membuat tambo dengan Minangkabau sebagai kiblat mereka. Jadi, saat ini memang banyak tambo-tambo yang berasal dari Kuantan terdapat kata Minangkabau di sana. Dari sekian banyak itu, disertakan di sini ringkasan Tambo Cerenti seperti yang ditulis di atas.
Jadi, tulisan ini menyimpulkan bahwa tidak benar bahwa Orang Kuantan adalah Orang Minangkabau, yang benar adalah orang Kuantan merupakan orang Melayu Kuantan, dan nenek moyang orang Minangkabau berasal dari ras yang sama dan dulunya juga pernah berasal dari Kuantan, Kampar, dsbnya. di Riau. Ihwal adat istiadat yang memakai system kekuasaan matrilineal (garis keturunan kekerabatan seperti Minangkabau itu bukan pemilik tunggal Minangkabau karena memang kebudayaan Melayu yang paling tua sebelum Islam masuk nenek moyang orang Melayu memang memakai system matrilineal. Di Kuantan dan di berbagai wilayah budaya di Riau lainnya juga memakai system yang sama, Islam lah yang mengubah peradaban ini ke garis keturunan sebelah ke laki-laki.
Perlu diketahui dalam sejarah Melayu, Sulalatus Salatin menyebutkan Wan Seri Bani pernah berkuasa dan saat itu system matriarkhat (pengambilan keputusan di tangan perempuan) pernah berlaku juga untuk beberapa abad di situ. Dan, bersambung hingga kepada kekuasan Engku Puteri*** [Derichard H. Putra]
Setelah itu terjadi lagi gelombang kedua arus masuk ke Nusantara dan melakukan perjalanan dengan proses evolusi memudiki sungai. Sebagian singgah di rantau-rantau sungai di Riau dan sebagian lagi bermukim hingga di Pagaruyung. Orang-orang ini kemudian dikenal dalam ilmu kebudayaan sebagai deutro Melayu (Melayu Muda). Bukti sejarah dalam peristiwa ini begitu banyak, mulai situs-situs candi hindu hingga budha. Di sepanjang sungaiIndragiri/batang Kuantan terdapat tidak kurang dari 3 situs candi yang diperkirakan umurnya lebih dari 2000 tahun yang lalu. Di sungai Rokan menurut penelusuran Tim Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai (Tahap I Sungai Rokan) ada lebih dari 10 situs mahligai yang ditemukan dan diperkirakan umurnya lebih tua dari candi Muara Takus. Yang paling menonjol memang Candi Muara Takus yang berdiri sebelum kerajaan Sriwijaya lahir. Tim ekspedisi itu mencatat seni ukir yang terdapat di sepanjang sungai Rokan juga menunjukkan lebih tua dibandingkan dengan seni ukir di Minangkabau.
Menurut Tambo kenegerian Cerenti, salah satu puak yang mendiami Rantau Kuantan, suku-suku yang mendiami kenegerian Cerenti itu, adalah keturunan dari nenek moyang mereka yang mendiami Semenanjung Melaka. Kemudian pindah ke Deli, tetapi karena adanya terjadi suatu peperangan Raja Deli dengan Raja Bugis, mereka migrasi pula ke Sumatera bagian tengah, sebagian ke Minangkabau sebagian ke Siak Sri Indrapura. Suku yang pindah ke Minangkabau dipimpin oleh Raja Mahkota. Raja Mahkota ini tidak berfungsi sebagai raja sebab ia dalam perantauan. Sedangkan yang pindah ke Siak Sri Indrapura disambut dengan baik oleh rajanya, bahkan ada di antara mereka diangkat menjadi panglima raja Siak Sri Indrapura. Ihwal Raja Mahkota beristrikan Putri Kembang melahirkan dua orang anak dan yang tua adalah perempuan bernama Putri Hijau dan yang kedua laki-laki bernama Putra Hutan.
Beberapa lama mereka mendiami Minangkabau. Raja Mahkota pun mulai berkuasa di daerah kecil yang ia diami, hingga Raja Mahkota meninggal dunia. Istri, anak dan orang-orang sesukunya meninggalkan daerah itu, kemudian hijrah ke Siak Sri Indrapura.
Di Siak, Putri Kembang dan rombongan berkumpul kembali dengan kelompok yang menuju Siak setelah bertahun-tahun mereka berpisah. Putri Kembang dilamar Raja Siak Sri Indrapura, tetapi lamaran Raja Siak itu ditolaknya, sebab beliau tidak sudi menjadi istri dari Raja Siak. Penolakan itu mengakibatkan Raja Siak marah, dan menyeret Putri Kembang ke penjara seumur hidup. Tindakan Raja Siak tidak disenangi Panglima yang sudah diangkatnya, sehingga terjadilah peperangan antara Panglima Raja Siak dengan Raja Siak. Akhirnya, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar rombongan Panglima menghindar menuju Kerajaan Indragiri hingga sampailah ke suatu tempat yang kelak bernama Cerenti.
Hal ini didukung oleh banyaknya pendapat budayawan yang mengatakan bahwa raja-raja Pagaruyung berasal dari Rantau Kuantan yang terjadi lebih dari 1500 tahun yang lalu.
Baik Melayu Tua maupun Melayu Muda memakai sistem keturunan matrilineal (garis keturunan ibu). Setelah Islam masuk diperkirakan abad ke-13 Melayu di Riau terutama yang mendiami pesisir Sumatra menerima peradaban Islam yang memakai sistem patrilineal. Karena memang kebudayaan Melayu itu sangat terbuka dan menerima Islam sepenuhnya. Namun, di banyak rantau di hulu sungai di Riau hingga Sumatra Barat pengaruh sistem yang islami ini diterima dengan berbagai rumusan baru, seperti tali berpilin tiga atau tiga tunggu sejerangan, dst.
Pada abad ke-13 itu pula, ketika Islam masuk ke Sumatra tidak hanya agamanya di terima dengan sepenuh hati tetapi juga peradaban Islam dihayati dengan baik. Gelombang pertama literacy Jawi (Arab Melayu) pun masuk dan dipakai dengan amat mesra. Tradisi keberaksaraan ini sangat merasuk kepada para ahli di Minangkabau waktu itu. Mereka pun mulai terpengaruh membuat sejarah dan syiarah, Mereka menyusun tambo-tambo di rantau Minangkabau. Perantau-perantau Minangkabau yang suka merantau menjalarkan keterampilan mereka membuat tambo dengan Minangkabau sebagai kiblat mereka. Jadi, saat ini memang banyak tambo-tambo yang berasal dari Kuantan terdapat kata Minangkabau di sana. Dari sekian banyak itu, disertakan di sini ringkasan Tambo Cerenti seperti yang ditulis di atas.
Jadi, tulisan ini menyimpulkan bahwa tidak benar bahwa Orang Kuantan adalah Orang Minangkabau, yang benar adalah orang Kuantan merupakan orang Melayu Kuantan, dan nenek moyang orang Minangkabau berasal dari ras yang sama dan dulunya juga pernah berasal dari Kuantan, Kampar, dsbnya. di Riau. Ihwal adat istiadat yang memakai system kekuasaan matrilineal (garis keturunan kekerabatan seperti Minangkabau itu bukan pemilik tunggal Minangkabau karena memang kebudayaan Melayu yang paling tua sebelum Islam masuk nenek moyang orang Melayu memang memakai system matrilineal. Di Kuantan dan di berbagai wilayah budaya di Riau lainnya juga memakai system yang sama, Islam lah yang mengubah peradaban ini ke garis keturunan sebelah ke laki-laki.
Perlu diketahui dalam sejarah Melayu, Sulalatus Salatin menyebutkan Wan Seri Bani pernah berkuasa dan saat itu system matriarkhat (pengambilan keputusan di tangan perempuan) pernah berlaku juga untuk beberapa abad di situ. Dan, bersambung hingga kepada kekuasan Engku Puteri*** [Derichard H. Putra]
Orang kuantan berbicara dan menceritakan adat budayanya ke penduduk bumi ini. Maka penduduk bumi akan menuduh orang kuantan sebagai orang minangkabau.
ReplyDeleteDefenisi suku itu melihat kesamaan bahasa adat dan budaya. Jika sama maka sesuku.
Dulu orang minang juga melayu. Karena sudah berbeda bahasa dan adat budaya. Orang minangkabau tidak merasa melayu lagi.
Orang kuantan dulu juga melayu. Setelah berbahasa dan berbidaya minang. Orang kuantan sudah menjadi mianang.