Legenda "Limuno" (The Princess of Tanaku)

Sebuah cerita yang terjadi di sebuah desa yang bernama Teluk Pinang Sebatang sekarang bernama Koto Taluk terletak diseberang Sintuo. Buku ini menceritakan tentang asalmuasal nama Limuno.

Asal Muasal Orang Kuantan

BERBAGAI penelitian arkeologi, etnolinguistik, hingga kebudayaan di seluruh dunia mengatakan bahwa orang Kuantan adalah Melayu. Ketika gelombang arus migrasi pertama sekitar 1000 tahun SM

Kerajaan Koto Alang

Situs Kerajaan Koto Alang ini telah sangat lama terlupakan. Hanya beberapa Tokoh adat yang tetap menjaganya. Walau dijaga, tetap saja tak lepas dari tangan jahil yang suka memperjual belikan Benda Cagar Budaya (BCB) yang terdapat di lokasi

Negeri Silat Bukit Sangkar Puyuh (Pangean)

Kabupaten Kuantan Singingi terletak pada 1010 - 1020 BT dan 00 - 10 LS, dengan luas wilayah yang meliputi lebih kurang 7.656,03 Km2. Awalnya mempunyai enam kecamatan defenitif yaitu Kuantan Mudik

Misteri Dayung Buat Si Ratu Wilhelmina

Pacu Jalur adalah sejenis lomba dayung tradisional khas daerah Kuantan Singingi (Kuansing) yang hingga sekarang masih ada dan berkembang di Propinsi Riau. Lomba dayung ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan

Jul 23, 2018

Masjid Jami' Koto Pangean Tertua di Kuansing

Masjid Jami’ terletak di Desa Koto Tinggi Kecamatan Pangean merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Kuantan Singingi, dan Provinsi Riau. Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Pangean ini, konon dibangun pertama kali pada 1013 Masehi. Masjid yang dahulunya terbuat dari kayu dan pelepah enau ini lapuk, sehingga diperbaharui sekitar tahun 1932 Masehi. 

Kendati sudah dipugar, namun bangunan masjid yang lama dan yang baru ini tidak jauh berbeda, karena tidak mengurangi makna yang ada dari setiap sisi bangunannya. Setiap bangunan masjid ini punya makna yang merupakan cerminan dari agama Islam dan struktur adat-istiadat yang ada di Pangean. Bangunan atapnya terdiri dari lima jenjang. Hal ini merupakan cerminan rukun Islam.

Kemudian, jumlah pintunya ada 33 pintu yang mengeliingi masjid ini, dan ini mencerminkan 33 kali umat Islam berzikir, bertasbih dan bertahmid untuk mengingat Allah SWT. Lalu di dalamnya terdapat tiang yang paling besar bedriri di tengah alias tiang mocu. Tiang ini bila dicoba dilingkari dengan ukuran tangan orang dewasa, setiap tangan tidak menyatu. Kemudian, tiang mocu dipagari oleh empat tiang yang ukurannya masing-masing sama, tetapi lebih kecil dari tiang mocu. Konon, tiang mesjid ini didirikan dengan menggunakan bantuan makhluk gaib.

Di sekeliling masjid ini terdapat makam para imam dan penyiar agama Islam di Pangean. Tiang mocu yang berdiri di tengah masjid yang dikelilingi empat tiang yang ukurannya lebih kecil, merupakan cerminan adat-istiadat yang ada di Kenegerian Pangean.

Maksudnya, tiang mocu adalah cerminan dari Datuak Tongah yang merupakan orang besar di dalam adat atau tempat bertanya Pangulu Nen Barompek tentang adat istiadat yang istilah adatnya adalah “talago adat”. Empat tiang di sekelilingnya yang sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari tiang Mocu, maknanya adalah cerminan Pangulu Nen Barompek yang ada di Nagori Pangean yang terdiri dari empat Pangulu.

Masing-masing, Pangulu yang bergelar Datuak Pakomo dari Suku Camin, Datuak Topo dari Suku Melayu, Datuak Gindo
Parkaso dari Suku Paliang dan Datuak Maruangso dari Suku Mandahiliang. Dalam adat Pangean, selain Datuak Tongah sebagai Talago Adat, ada juga Siak Pokiah sebagai Talago Syarak atau tempat bertanya Pangulu mengenai agama atau istilah adat, “Talago Sarak”. Cerminan dari Siak Pokiah di dalam masjid ini, terdapat di Mihrab atau Mimbar, yang diketahui telah ada sejak tahun 1013 M.

Kemudian, di atas sebelum loteng, satu tiang Mocu dan empat tiang turut mengelilingi tiang Mocu yang berdiri di tengah mesjid, bermaksud agar bangunan masjid ini berdiri tegak dan kokoh, lima tiang ini disanggah dengan kayu sebanyak 16 penyanggah yang satu sama lain saling menguatkan. 16 penyanggah antara tiang yang satu dangan tiang yang lainnya inilah merupakan cerminan orang adat sebagai tempat berunding pangulu di masing-masing suku, yang apabila dijumlahkan, itu jumlahnya ada 16 orang sebagai pemangku adat.

https://www.facebook.com/legendatradisimitosriau/photos/a.173203259715651.1073741827.167321376970506/185183201850990/?type=3

Jul 19, 2018

Negeri Silat Bukit Sangkar Puyuh (Pangean)

Terbilang dari Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau, terdapatlah sebuah daerah bernama Pangean. Dari sinilah dikenal asal muasal silek pangean ke penjuru negeri.

Dalam sejarah, menurut buku Kulik Kore (Tambo) negeri Pangean, peradaban negeri ini bermula dari sebuah bukit di Pangean yang bernama Bukit Sangkar Puyuh sekarang Koto Tinggi Pangean. Nama bukit ini diambil dari bentuknya yang memang seperti Sangkar Burung Puyuh.

Pada awalnya Bukit Sangkar Puyuh dilingkari batang manau (sejenis rotan berukuran besar) yang tumbuh di pangkal tangkai cendawan besar. Manau ini melingkar menurut arah jarum jam pada pertengahan kaki bukit dan berakhir pada pangkal permulaan tempat tumbuhnya. Oleh penduduk setempat, cendawan yang tumbuh di pangkal manau ini dinamakan cendawan upeh. Karena mengandung racun yang mematikan, oleh penduduk cendawan upeh dimusnahkan.

Seiring berlalunya waktu, oleh masyarakat setempat bekas cendawan tumbuh ini dijadikan lokasi pendirian mesjid. Inilah mesjid pertama yang ada di Pangean yang diperkirakan berdiri pada abad ke-17. Awalnya pemerintahan Bukit Sangkar Puyuh dipegang oleh Datuk Lebar Dado, Datuk Sebatang Rusuk dan Datuk Bandaro Putih. Menurut salah seorang penduduk, tiga datuk inilah nenek moyang orang Pangean. “Datuk Lebar Dado sangat perkasa dan berwibawa. Beliau sanggup memeras besi menjadi cair,” kata penduduk tersebut mengambarkan keahlian Datuk Lebar Dado. “Selain itu bukti ketangguhannya adalah berhasil membunuh pengacau yang dikenal hantu Pak Buru. Kisah masyarakat ini dibuktikan adanya kuburan hantu Pak Buru berukuran empat meter yang terletak sekitar seratus meter arah barat Koto Pangean.

Di tangan kepemimpinan tiga datuk tersebut Desa Pangean semakin berkembang. Apalagi saat itu negeri Pangean juga diramaikan oleh pendatang negeri tetangga, seperti negeri Toar (sekarang Kecamatan Gunung Toar) yang berada di sebelah hulu negeri, dan juga pendatang dari Minangkabau yang mengungsi ke daerah ini. “Saat itu kerajaan Pagaruyung diserang oleh kerajaan Majapahit dibawah tahta Adityawarman,” ungkap warga. Perpaduan dari beberapa pendatang ini kemudian diduga membentuk beberapa suku di Pangean sampai saat ini.

Tanah Pangean terkenal pula dengan persilatannya, nama yang tak asing bagi pesilat di Kuantan. Silat ini diwariskan secara turun temurun oleh guru besar silat Pangean yang dikenal dengan nama Induak Barompek. “Jika kemudian nama silat Pangean terdengar asing bagi orang awam ini bisa dimaklumi. Lantaran silat Pangean lebih banyak menutup diri agar keasliannya terjaga,” jelas salah seorang guru silat Pangean yang enggan disebut namanya.

Karena sifatnya yang tertutup, kini banyak terjadi kesimpangsiuran cerita tentang asal-usul silat Pangean. Ada yang mengatakan silat berasal dari Lintau, Sumatera Barat. Namun cerita ini dibantah oleh salah seorang Induak Barompek. Ia pun kemudian menjelaskan asal muasal lahirnya silat Pangean.

Cerita bermula saat salah seorang penduduk dari negeri Rantau Kuantan yang bergelar Bagindo Rajo pergi berguru ke Datuk Betabuh di Lintau, Sumatera Barat. Kepergiannya bertujuan untuk mempelajari agama Islam dan juga silat sebagai seni untuk membela keyakinan agama. Di saat kepergiannya ke Lintau itulah, istri Bagindo Rajo, Gadi Ome, yang tetap tinggal di Pangean bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya, Gadi Ome didatangi roh Syekh Maulana Ali yang datang dari tanah suci Mekkah.

Selain bertemu Syekh Ali, Gadi Ome juga bertemu istri Syekh Ali yang bernama Halimatusakdiah. Dari Halimatusakdiah, Gadi Ome belajar ilmu silat. “Jadi Bagindo Rajo dan Gadi Ome merupakan guru yang pertama kali mengajarkan silat Pangean. Oleh sebab itu pada silat Pangean terdapat dua sifat yang berbeda. Yang satu kasar, keras dan satu lagi lunak, lemah gemulai tapi mematikan,” terang salah seorang Induak Barompek, penerus silat ini.

Menurut guru silat Pangean ini, Aliran silat Pangean yang kasar berasal dari Bagindo Rajo, sedangkan yang lunak berasal dari Gadi Ome. “Silat Pangean memang tidak berasal dari Lintau. Karena ilmu silat yang diperoleh Bagindo Rajo di Lintau jauh kalah dibanding yang diperoleh istrinya. Makanya sang suami belajar dari istrinya. Dengan begitu murid pertama Gadi ome adalah Bagindo Rajo,” jelas guru tersebut.

Seiring perjalanannya, pasangan suami istri ini mulai menurunkan keahlian silat mereka. Pada awalnya, silat hanya diajarkan di kalangan keluarga. Gadi Ome menurunkan ilmu silat menurut suku yang ada padanya (matrilineal). Sedangkan Bagindo Rajo menurunkan ilmunya kepada kemenakan dari keturunan ibu.
Datuk Untuik adalah orang yang pertama menjadi murid Bagindo Rajo. Datuk Untuik diangkat menjadi murid lantaran Bagindo Rajo memiliki hutang budi terhadap ayahnya, Tan Garang. Kala Bagindo Rajo menuntut ilmu ke Lintau, Tan Garang merupakan orang yang menjaga Gadi Ome di kampung halaman. Dari Datuk Untuik, ilmu silat kembali diturunkan ke Pendekar Malin, Maliputi, Pak Ngacak, dan Menti Kejan. Usai itu, barulah Penghulu Sati, dan Datuk Bungkuk dari Lubuk Jambi yang datang berguru.

Keempat murid pertama Datuk Untuik ini kemudian diangkat menjadi Induak Barompek. Gelar tertinggi yang dipakai dalam persilatan ini sampai sekarang. Mereka merupakan kelompok guru yang bertugas untuk menjaga kemurnian dan menurunkan ilmu silat Pangean. “Sampai sekarang Induak barompek telah banyak berganti orang, tapi tetap menggunakan nama Induak Barompek,” kata salah seorang Induak Barompek.

***
PADA awalnya, silat Pangean hanya diajarkan kepada anak dan kemenakan. Karena itu silat bersifat tertutup dan diajarkan secara sembunyi-sembunyi. Hingga kemudian orang semakin banyak yang ingin belajar silat Pangean. Kala itu, Penghulu Suku Caromin, Datuk Pakomo yang bergelar Datuk Penghulu Sati, meminta kepada guru silat agar ilmu silat yang ada padanya diajarkan kepada seluruh anak kemenakan di negeri Pangean.

“Ketentuan berdasarkan kesepakatan dan musyawarah. Dengan aturan tidak semua ilmu silat yang diajarkan kepada murid. Yang sapicik (sedikit,red) milik guru tetap tinggal pada guru, dan yang segenggam diberikan dan diajarkan kepada orang banyak,” ujarnya menjelaskan aturan yang dibuat penghulu negeri.

Dalam mencapai tujuan pengembangan silat dan dalam rangka melestarikan kebudayaan masyarakat Pangean, penghulu adat membuka laman silat di samping Mesjid Koto Tinggi. Di sini sebuah balai adat didirikan. Selain itu, dalam rangka pemerataan keterampilan silat, para guru silat Pangean memberi izin untuk dibukanya laman silat di masing-masing banjar. Dalam penerapannya, silat Pangean terdiri dari permainan dan pergelutan. Tarian silat sambut menyambut serangan ini sering dimainkan di halaman. Hal ini berbeda dalam pengajaran silat kepada murid tingkat atas yang dilakukan di rumah.

Dalam gerakan, silat Pangean dikenal dengan gerak lembut dan gemulai. Meski begitu setiap gerakan menyimpan efek yang mematikan. Karenanya tak semua orang bebas mempelajari. Untuk belajar ilmu silat Pangean ada syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi sang murid. Syarat itu berupa berani patah, berani buta, berani mati dan berani berutang.

“Maksudnya adalah dipatahkan hati terhadap yang tidak baik. Butakan pemikiran terhadap kejahiliyahan. Matikan hati untuk tidak berbuat keburukan. Memberhentikan yang dilarang dan jalankan kebaikan. Dan setiap persyaratan ini sesuai dengan ajaran Islam,” jelas Muhardi, Pendekar Loma, salah satu keturunan silat dari istri Datuk Bagindo Rajo.

Sejak digulirkannya hingga kini, ketentuan lama tentang pewarisan jabatan guru dalam silat Pangean tetap berlaku. Selain itu gelaran yang diberi pun berbeda antara keturunan Bagindo Rajo dan Gadi Ome. Keturunan Datuk Bagindo Rajo menggunakan gelaran datuk, sedangkan keturunan Gadi Ome bergelar pendekar.

Bahkan menurut cerita guru silat Pangean, seorang guru belum boleh dikebumikan saat meninggal sebelum ditunjuk orang yang akan menggantikan kedudukannya. Dan kalaupun terjadi kekusutan dalam menentukan pengganti, maka diurutkan kembali rangkaian sejarahnya. “Sesat di ujung jalan kembali ke pangkal jalan,” ujar salah satu guru silat ini berpetuah.

Kini, seiring berjalannya waktu silat Pangean mendapat perhatian yang luas. Tidak hanya di rantau Kuantan, tapi mulai dikenal di Indragiri dan daerah Riau lainnya. Bahkan pengaruh silat Pangean juga tumbuh di Malaysia dan Amerika. “Di Amerika silat ini hadir dengan nama Perkelahian Rapat Tangan Kaki Senjata (Peratekisendo),” ujar Induak Barompek kemudian.

sumber : http://legendakuantan.blogspot.com/2008/10/terbilang-dari-kabupaten-kuantan.html

Jul 17, 2018

Legenda : Negeri 9 Koto


Hikayat Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi

Dahulu kala ada seorang yang diberi gelar dengan ninik putih darah tunjuk yang berasal dari
sumatera barat, ia melakukan perjalanan dan sehingga pada suatu saat sampailah ia pada
suatu tempat yang datar dan dialiri sungai dan ia mendapatkan ide untuk membangun suatu daerah
tempat tinggal dan ia mengajak orang dari daerahnya untuk tinggal ditempat tersebut. 
 
Lalu karena semakin banyak orang diberilah nama "Teratak" dan semakin banyak penduduknya
kemudian diberi nama "Dusun"lalu menjadi "Koto" lalu datanglah seorang raja yang bernama dipertuan gadis ia melakukan perjalanan dari Negeri Pagaruyung dan singgah di "Koto" tersebut dan
berkeliling dan ia bertapa didekat sebuah lubuk dengan posisi kaki bersilah yang dalam bahasa daerah ini disebut dengan "baselo" sehingga lubuk tersebut diberi nama "lubuk baselo" dan karena tempo berbicara orang desa cukup cepat sehingga disebut "lubuk lelo". Kemudian raja dipertuan gadis duduk dibawah sebuah pohon yang besar dan rimbun kemudian dia mendengar ngiang sungai dan akhirnya sungai tersebut diberi nama sungai singingi yang berasal dari kata "singiang-ngiang"
yang merupakan bahasa kampung pangkalan indarung yang berarti suara desahan air sungai yang deras.

Kemudian karena pohon besar ini mempunyai dahan yang rimbun yang dalam bahasa kampungnya adalah "naung" sehingga koto tadi yang merupakan pangkalan, kemudian disebut dengan "Negeri Pangkalan Indaung" kemudian raja membentuk penghulu adat dan niniak mamak. Setelah itu Raja ini
melanjutkan perjalanan hingga sepanjang sungai singingi yang sekarang merupakan terdiri dari 9 koto / negeri diantaranya yaitu :

1. Pangkalan Indarung
2. Pulau Padang
3. Muaralembu
4. Logas
5. Kebunlado
6. Petai
7. Kotobaru
8. Sungai Paku
9.Tanjung Pauh

Kesembilan negeri ini diberi nama "Antau Singingi" dan semboyan yang selalu dijaga yaitu :
"Ba Bapak ka Pangkalan Indarung Ba Ibu ka Tanjung Pauh Ba Mamak ka Muaralembu di tanah Kojan".
Pepatah ini mempunyai arti bahwa apabila permasalahan yang ada di 9 koto tadi tidak dapat diselesaikan didaerahnya masing-masing maka permasalahan tersebut diselesaikan di Muaralembu oleh mamak-mamak dari masing-masing yang bermasalah.
Lalu Raja Dipertuan Gadis ini melanjutkan perjalanan hingga kekerajaan gunung sahilan, dan kerajaan siak.
 
Kemudian Raja kembali kekerajaannya di Pagaruyung dan setiap 2 1/2 tahun hingga 3 tahun ia menugaskan bawahannya untuk mengambil pajak kesetiap daerah yang telah dilaluinya pajak ini berupaemas karena di daerah Antau Singingi pada saat itu kaya akan Emas, hingga sekarang emas pun semakin berkurang dan warga biasanya mendapatkan emas dengan caramendulang. Selain semboyan 9 koto tersebut adalagi sebuah sumpahdari hewan di 3 negeri yaitu :
"harimau di padang loweh, tupai di manganti dan buayo disingingi"
Maksud dari sumpah ini adalah sebelum harimau dipadang loweh makan manusia maka tupai di manganti tidak akan memakan kelapa yang ditanam penduduk serta buaya disingingi tak akan mengganggu dan memakan orang di singingi.
Orang yang dimaksudkan disini yaitu putra asli daerah tersebut bukan orang pendatang dari daerah lain. Sebelum adanya ninik mamak yang memangku adat, yang menjadi tokoh masyarakat yaitu dikenal dengan datuk banjar. Dalam pembentukan nama-nama tersebut dikenal ada sebuah pantun yang berbunyi :
Teratak,dusun, Koto, nagori Adat jo sarak tasusun Bumi sonang padi manjadi Maksud pantun ini yaitu apabila adat dan agama telah menjadi sumber hukum yang mengatur maka kehidupan akan senang dan tentram serta akan berjalan dengan baik.

Pada waktu itu kedudukan kepala desa dikenal dengan nama datuk Pucuk dan yang dalam istilah sekarang camat dikenal dengan nama Datuk Khalifa. Kemudian perkembangan permukiman penduduk yaitu dahulunya berada diseberang sungai singingi namun karena sering terjadi banjir sehingga masyarakatnya pindah keseberang yang tempat tinggal warga sekarang sekitar tahun 1979 hingga 1980 dan yang menjabat menjadi datuk pucuk waktu itu bernama Pak Bangsawan. Pada tahun 1982 Kepala Desa beserta masyarakat sepakat bahwa tidak dibolehkan menangkap ikan disungai singingi tersebut yang diberi nama dengan lubuk larangan yang berarti bahwa bagi siapa yang menangkap ikan dilubuk larangan tersebut baik ikan yang hidup maupun ikan yang telah mati akibat racun akan dikenakan denda yang sekarang denda untuk 1 ekor ikan yaitu Rp. 500.000 Sebab dilakukannnya Pelarangan penangkapan ini yaitu karena dahulu penduduk belum memiliki sumur sehingga semua kebutuhan yang berhubungan dengan air seperti mandi, nyuci dan minum semua hal tersebut langsung diambil dari sungai. Jadi untuk menjaga kebersihan sungai maka dilakukanlah Pelarangan ini. Namun selain itu ikan ini pada akhirnya juga ditangkap atau dipanen tapi hanya sekali setahun dan itupun untuk acara-acara besar seperti khatam Alqur’an dan saat Hari Raya Idul Adha, Alat yang digunakan yaitu seperti jala dan jaring agar kualitas air tetap terjaga. Setelah ditangkap kemudian dibagikan kesetiap Kepala Keluarga yang ada ataupun dimasak dan Makan Bersama diMasjid.

Sumber : https://www.facebook.com/167321376970506/posts/hikayat-desa-pangkalan-indarung-kecamatan/186913281677982/

Jul 12, 2018

Kisah "Olang Soghak" dari Inuman


Si Mikin
(Cerita Anak Durhaka dari Kuantan Singingi)

Cerita ini diangkat dari cerita rakyat Rantau Kuantan. Namun, ditulis berdasarkaan fiktif belaka. Penulis mendapatkan cerita dari seorang narasumber yamg benama Samsia, menurut Samsia cerita ini ia dapatkan dari ibunya yang bernama Intan, dan Intan juga mendapatkan cerita ini dari ibunya. Begitulah seterusnya cerita ini telah diwariskan secara turun-temurun dari ibu ke anak.
Dahulu kala di Rantau Kuantan, di kenegrian yang bernama Inuman, tepatnya di Si Buayo atau yang juga dikenal dengan lubuak Si Payuang. Disinilah tersebutnya kisah Si Mikin. Si mikin yang telah lama di tinggalkan ayahnya, ia hanya hidup dan tinggal bersama ibunya, kehidupan mereka sangat susah. Ibunya hanya berkerja menampi beras orang dan bisanya mendapat upah secupak (setara dengan ¼ tekong) dari tapian tersebut.
Suatu hari Si Mikin berteriak memanggil-manggil ibunya.
 ‘’ omak, , , omak. . .” ujar si mikin.
 Lalu ibunya menjawab ‘’  apo lei lei nak bujang omak’’.
Sambil menunduk Si Mikin menjawab “Mikin ingin poi marantau mak , siapo sangko je omak rak, iduik di nagori urang bisa mandatangan rasoki”.
Setelah mendengar perkataan Si Mikin tersebut , ibunya berusaha untuk mencegah si mikin untuk pergi merantau, namun Si Mikin tetap bersikeras ingin pergi merantau, akhirnya ibunya terpaksa mengizinkan Si Mikin pergi.
Berbekal limpiang bore ( kerak nasi) berangkatlah si mikin ke negeri seberang.
“ kayua la kayua , uwik den uwik, luan manuju tobiang suborang...’’  
Setelah si mikin lama merantau dan tak tau di mana berada. Terdengarlah kabar bahwa simikin telah kembali. Mendengar berita tersebut ibunya lansung pergi ke sibuayo tempat di mana kapal-kapal berlabuh di masa itu. Setelah sampai di si buayo ibunya melihat si mikin berdiri di atas kapal. Tetapi si mikin bukan lagi si mikin melainkan si kaya. Si Mikin yang dulu ramah kini menjadi angkuh dan sombong.
Sambil berteriak ibunya manggil si mikin
“ mikin... mikin... iko omak nak...”

Tekejutlah  si mikin mendengar kata-kata tersebut, dengan perasaan yang gugup si mikin menjawab..
“ iko omak po mak,,, ndak ah, omak den mudo lei,,, indak tuo macam ko re,,, poi manjawuah dari tobiang ko, sabolun di sipak,,,”
Mendengar perkaataan anaknya tersebut, mengalir lah air mata sang ibu,,, dan kembali berkata...“ iyo nak, iko omak... ang la lamo poi marantau,,, jadi ndak mungkin omak mudo macam dulu lei..”
Namun dengan kerasnya si mikin mebantah“ indak,,, kau indaklah omak den,,, poi dari siko...” lalu si mikin memerintahkan pengawalnya untuk memutar haluan kapal, dan segera pergi hendak menuju kuala indragiri.
Melihat hal tersebut ,,, dengan perasaan sedih, sambil menangis keluarlah kata-kata dari mulut ibu si mikin.“ iyo ang kan poi po nak,,, kalau iyo jadilah ang olang soghak... biar omak jadi buayo,,,”.
Setelah ibu si mikin berkata demikian, angin ribut bertiup kencang, gelombang semakin kuat yang membuat tenggelamnya kapal si mikin.
Setelah kejadian tersebut sering terlihat seekor burung elang yang terbang kesana-kemari di atas bekas tenggelamnya kapal si mikin, penduduk sekitar percaya bahwa elang tersebut adalah si mikin yang disabut dengan (olang soghak). Apabila air sungai kuantan surut,akan terlihat lipatan-lipatan kain, dan beberapa buah batu yang menyeripai payumg yang  dipercaya isi dari kapal si mikin. Oleh kare itu si biayo juga di kenal dengan lubuak si payuang.

Syair Si Mikin
Tasobiklah dimaso dulunyo
Disibuayo tompeknyo
Lubuak si payuang subuiktannyo
Di desa banjar nan tigo

Disiko Kuantan olun banamo Kuantan
Disiko Inuman olun banamo Inuman
Limpato nan tasobuiktan
Ikolah kisahnyo mari kito dongarkan

Si mikin poi marantau
Ondak majalang sabuah pulau
Marubah iduik nan kacau
Maapuih maso nan la lampau

Dek sorik iduik di kampuang
Dek sompik adonyo untuang
Nyo cubo balayar dari sabuah tanjuang
Ondak malapamgan sompiknyo untuang

Dek jawuahnyo marantau
Mungkin ka mudiak ka minang kabau
Ntah ka ulak ka jarojau
Tinggalah omaknyo jo ati risau

Di ulaknyo indragiri
Di midiaknyo kuantan singingi
Mangonang anak nan lapoi
Batal bapoluak nyo tangisi


Mangonang anak nan lapoi
Omaknyo torui manangi
Banyiak potang bayiak pagi
Itulah karojonyo saban ari

Sapulangnyo si mikin dari rantau
Indak mangonal omaknyo maimbau
Ndak ingek akan maso lampau
Mambuek ati omaknyo batamba kacau

Si mikin pulang dengan istrinyo
Kininyo manjadi urang kayo
Indak mangonali akan omaknyo
Jadilah enyo anak duroko

Ulah si mikin anak duroko
Kutuakpun tibo dari omaknyo
Olang sorak akan ruponyo
Si buayo yang manjadi saksinyo

Munkin carito sampai disiko
Jikok salah borilah mo’o
Dihadopan kito basamo
Abiaklah hikmah nan ado

By. Mulfransware Yusda
Sumber : http://dpeternakan.blogspot.com/

Jul 9, 2018

Legenda "Limuno" (The Princess of Tanaku).

Sebuah cerita yang terjadi di sebuah desa yang bernama Teluk Pinang Sebatang sekarang bernama Koto Taluk terletak diseberang Sintuo. Buku ini menceritakan tentang asalmuasal nama Limuno.

Pada zaman dahulu orang mendapat buah-buahan dari dalam hutan, sekarang orang desa membeli buah-buahan dari pasar dan mall. Dahulu orang sesat dalam hutan rimba belantara, sekarang orang sesat dalam kota.

Inilah sebuah kisah seorang pemuda bernama Ali Gepar yang tersasat dalam hutan dan tak tahu lagi mana arah yang akan dituju, mana jalan yang akan ditempuh. Kepada siapa akan bertanya, kepada siapa akan menghimbau. Berteriak besar-besar, yang menjawab hanya senggaung saja. Mau tidak mau selamatkan diri dari ancaman penghuni hutan rimba raya.

Akhirnya Ali Gepar sampai ke sebuah negeri atau desa yang penduduknya terdiri dari orang-orang Tanaku. Mereka ini menurut hikayat adalah orang-orang bunian yang adat-istiadatnya sangat berbeda dengan adat-istiadat anak cucu. Mereka adalah orang bunian yang populernya disebut bangsa jin.

Ali Gepar pasrah, ia menduga tidak mungkin kembali ke tanah tumpahnya. Maka di negeri Tanaku ia mencari induk semang, tempat ia menggntungkan hidup, nasib dan peruntungannya.

Ia bertemu dengan seorang gadis anak Batin Tanaku. Sebagai manusia normal, ia jatuh hati kepada gadis anak Batin Tanaku. Tali cinta terajut. Tentu hubungan ini diinginkan berakhir ke jenjang pernikahan.

Dengan rasa cinta yang mendalam Ali Gepar meminta izin kepada calon mertuanya untuk meminta izin kedua orang tuanya yang berada di Koto Taluk. Namun rencana sering tidak sesuai dengaan harapan. Setelah Ali Gepar sampai di Koto Taluk, disambut dengan ratapan dan tangisan yang membawa Ali Gepar kepada perubahan menolak cinta suci murni yang telah tertanam didalam hatinya.

Semaian cintanya terhadap gadis tanaku telah tumbuh subur. Pohon cintanya telah berurat berakar dihati gadis lugu orang tanaku. Tia-tiba berubah 180 derajat. Janji yang telah diikrarkan, dihapusnya dengan tinta kebencian. Semboyan orang tanaku: “Berjanji Berdosa Mungkir, Titian Binasa Lapuk.” Orang-orang Tanaku sangat teguh dengan janji. Memungkiri janji bagi mereka adlah suatu dosa yang sulit dihapus.

Bagi Ali Gepar, semua menjadi angina lalu. Restu Ibu dan Ayah lebih berharga dari pada cinta. Disatu pihak teguh dengan janji. Sehingga kedua pandangan ini tidak mungkin bertemu. Musyawarah tidak mungkin lagi diadakan. Orang Tanaku mengambil jlannya sendiri, dengan cara melakukan penganianyaan terhadap masyarakat Koto taluk, memakan ternak, membunuh orang dan hewan peliharaan. Orang Tanaku mengganas.

Kemelut cinta antara kedua keluarga yang berbeda agama, adapt istiadat, kebudayan dan jenis ini diakhiri dengan terperangkapnya seekor Harimau yang berubah menjadi gadis cantik.

Koto Taluk menjadi gempar. Kejadian ini meninggalkan kesan yang dalam dan sekaligus mengakhiri kemelut cinta Ali Gepar dengan Gadis Tanaku dengan sebuah perjanjian yang dikenal dengan Sumpah Seratih antara Orang Tanaku dengan Desa Koto Taluk.

Sumpah Seratih Orang Tanaku dan Masyarakat Kenegerian Koto Taluk
Sumpah Seratih itu ditawarkan oleh Rebung Muda, tak lain adalah Gadis Tanaku itu. Ia menawarkan sebuah konsep kepada Datuk Penghulu, Rebung muda mengadakan “Sumpah yang kita akan kita kukuhkan, bukanlah sumpah antara pribadi Ali Gepar dengan saya, namun sumpah yg akan diikrarkan adalah merupakan sumpah antara Suku

Tanaku dengan anak cucu kemenakan yg berada dalam kampung berpenghulu, bermonti berdubalang,”
Adapun tawaran itu :

1. bahwa kami orang Tanaku, jangan sekali kali dijantani. Hal itu pantang bagi kami, mulai dari nenek moyang dan sampai sekarang ini, yg selalu berlaku dari dahulu sampai akhir zaman.

2. kalau berada dlm hutan belantara, sekali kali jangan membersihkan periuk di hulu sungai.
3. kalau membelah kayu dengan menggunakan baji, jangan sekali kali bajinya ditinggalkan terjepit pada kayu itu.
4. jaga menjaga keselamatan. Artinya kalau ada anak cucu dan kemenakan yg mandi dalam hutan jgn btelanjang bulat, pakailah basahan (pakaian mandi).
5. kala khujanan dlm hutan, sekali kali jgn mempertudung daun torok. Itu pesan nenek moyang kami sejak lama.
6. kalu dikampung masing-masing pakailah adat masing-masing. Tapi kalau anak cucu serta kemenakan berada dikampung orang pakailah adapt dmn kita berada.
7. kita sudah merupakan satu keluarga yg bsaudara akan saling malu memalui, jgn bercakap sombong dlm hutan. Sperti mematahkan kayu tanpa alat.

Siapa yang melanggar dan melangjahi jnji atau ikrar dan sumpah serati ini, maka sumpah serati tidak berlaju padanya.”
Kemudian Datuk Penghulu yg berempat mnetapkan daerah hokum berlakunya sumpah seratih itu;

1. selatan berbatas dgn Titian Modang Rimbo Berkuak
2. timur berbatas dgn Sungai Teso
3. barat berbatas dgn hulu Sungai Teso, Kampung Durian, Gunung Sahilan.
4. utara ke Bukit Timbunan Tulang dan Batang Kering.

Disamping larangan yang tujuh, dibuat pula suatu persetujuan. Yaitu untuk kemakmuran Negeri Tanaku, seandainya ada bayi yg lahir karena hubungan tanpa nikah antara anak cucu kemenakan. Maka bayi itu adlah hak Orang Tanaku, seperti:

- Tua anak dari bapak
- Tercampur sulbi org lain, selain suami (berbuat zinah)
Kalau sasat dalam hutan rimba org tanaku akn mnunjuki jalan yg benar dgn cara menggarut jalan yg akan dilalui. Sendainya tertidur dlm hutan, Orang Tanaku akn membangunkan dgn pekikan beruntun. Sumpah seratih diikrarkan.

Untuk cerita lengkapnya anda bisa membeli atau membaca buku :
Judul Buku : Limuno  
Penulis : Drs. Bustami M. Lipsi
Tebal Buku : 74 Halaman
Tahun Terbit : 1995
Penerbit : CV. BUDI Medan

Jul 7, 2018

Tulisan Tangan Syekh Ahmad Bunda dari Desa Kotopinang

Mitos Syech Ahmad Bunda di Masyarakat Muara Lembu.

Kabupaten Kuantan Singinging (Kuansing) tepatnya di Ibu kota Kecamatan Singingi, Muara Lembu, terdapat sosok ulama berpengaruh yang banyak jasanya dalam menyiarkan ajaran Islam. Syekh Ahmad Bunda yang pernah menulis kitab Alquran dengan tulisan tangan, telah diakui keasliannya dan bernilai tinggi.

Syekh Ahmad Bunda lahir di Desa Kotopinang, sekarang bernama Muara Lembu. Adalah kebiasaan kaum ibu di desa itu, sebelum bekerja menidurkan bayinya di dalam ayunan. Alkisah, saat sang ibu pulang dari bekerja ternyata
ayunan Ahmad Bunda telah kosong. Si bayi yang baru berusia tiga bulan itu hilang. Putih nan Panjang, Ibu Ahmad
Bunda dan ayahnya Datuk Kutai, segera menghadap tukang tenun yang bernama Datuk Husin. Menurut tukang tenun, anak mereka dilarikan oleh jin yang baik hati. Kedua orang tua itupun dipesankan untuk tidak terlalu khawatir karena Ahmad Bunda masih hidup dan berada dalam keadaan sehat.

Namun karena anaknya susah ditemui, hati Putih nan Panjang serta Datuk Kutai tetap tertekan. Bertahun-tahun keduanya bertingkah bak orang senu. Ramalan tiga orang dukun yang cukup terkenal masih dianggap sebagai obat
penawar duka belaka. Dua puluh tahun berlalu ibarat bertanam kelapa sudah banyak menghasilkan buah, batangnya
semakin tinggi, pelepah dan daunnya semakin kuat mendapat tiupan angin. Dan mendung tebalpun berganti dengan angin segar. Perlahan-lahan orang tua Ahmad Bunda mulai dapat melupakan kesedihan itu.

Apalagi kemudian mereka kembali dianugerahi seorang anak. Setelah lahir, anak itu diberi nama Sari Emas. Kembalinya Syekh Ahmad Bunda Pada suatu malam, ketika Datuk Kutai, Putih Nan Panjang dan Sari Emas asyik bercerita mengenai Ahmad Bunda tiba-tiba terdengar ketukan pintu diiringi ucapan “Assalamu’alaikum!” Ketika
pintu dibuka, berdiri sesosok manusia berjubah putih dengan tangan memegang kitab. Datuk Kutai mempersilahkan masuk, namun sang tamu mengajukan satu syarat, ia baru akan masuk jika beberapa isi rumah yang disebutkannya haram telah dikeluarkan. Setelah Datuk Kutai memenuhi persyaratan tadi, maka mulailah tamu itu menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Ternyata dialah Ahmad Bunda, si anak hilang itu. Mengenai kehilangannya itu, Ahmad Bunda bercerita bahwa ia dilarikan oleh jin wanita yang kaya dan baik hati ke negeri Gujarat untuk kemudian
mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama Islam.

Pada akhirnya, Ahmad Bunda pun mengajak ayah, ibu dan adiknya untuk meninggalkan faham dinamisme yang selama ini dianut untuk kemudian memeluk agama Islam. Alhasil, berubahlah kehidupan keluarga itu secara berangsur-angsur. Datuk Kutai yang dulunya dikenal sebagai penyabung ayam telah meninggalkan kebiasaan buruk itu dan perbuatan lain yang dilarang agama Islam. Dia pun mengerjakan salat dan ibadah-ibadah lain seperti yang telah diajarkan Ahmad Bunda. Berbagai usaha dilakukan Ahmad Bunda untuk mengembangkan agama Allah ini. Selain keluarganya, secara bertahap Islam diterima oleh sanak famili.